Malang, gomalang.id – Sidang tuntutan terhadap delapan terdakwa kasus pabrik narkoba terbesar di Kota Malang kembali mengalami penundaan. Seharusnya, sidang pembacaan tuntutan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Malang pada Selasa, 26 Maret 2025. Namun, hingga kini, berkas tuntutan masih berada di Kejaksaan Agung.
Kronologi dan Penundaan Sidang
Penundaan ini merupakan yang ketiga kalinya, menimbulkan kekecewaan dari pihak terdakwa dan kuasa hukum.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Kota Malang, Dewangga Kurniawan, menjelaskan bahwa penundaan disebabkan oleh berkas tuntutan yang masih berada di Kejagung.
JPU menjanjikan bahwa pembacaan tuntutan akan dilakukan maksimal pada 14 April 2025, diikuti dengan pembelaan dari terdakwa pada 21 April 2025, dan putusan maksimal pada 28 April 2025.
Kuasa hukum terdakwa, Guntur Putra Abdi Wijaya, menduga penundaan ini terkait dengan pelaporan ke Kejaksaan Agung, mengingat kasus ini melibatkan pihak kejaksaan dari pusat.

Pembelaan Kuasa Hukum Terdakwa
Guntur Putra Abdi Wijaya berharap JPU memberikan tuntutan yang seringan-ringannya, mengingat para terdakwa hanyalah pekerja, bukan otak dari sindikat narkoba tersebut.
Ia juga mengungkapkan bahwa enam dari delapan terdakwa direkrut dengan iming-iming pekerjaan di pabrik rokok, namun ternyata dipekerjakan di pabrik narkoba.
Keenam terdakwa tersebut belum menerima upah, dan mereka mengaku menyesal telah terlibat dalam kasus ini.
Terdakwa berkomunikasi secara online, dan hanya di suruh untuk meracik dan mengatur alat produksi narkoba.
Kasus Pabrik Narkoba Malang
Kasus ini terungkap setelah penggerebekan oleh tim gabungan Bareskrim Polri dan Ditjen Bea Cukai di sebuah rumah kontrakan di Jalan Bukit Barisan, Klojen, Kota Malang, pada 2 Juli 2024.
Penggerebekan ini merupakan pengembangan dari kasus sebelumnya di Kalibata, Jakarta Selatan.
Barang bukti yang diamankan sangat besar, termasuk 1,2 ton ganja sintetis, puluhan ribu butir ekstasi dan xanax, serta puluhan kilogram bahan baku narkoba.
Para terdakwa terancam hukuman maksimal, yaitu hukuman mati, sesuai dengan Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) dan lebih subsider Pasal 113 UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (IS)